Sabtu, 16 Mei 2009

etos kerja islam

Hal yang paling mendasar yang menjadikan sebuah bangsa maju atau tertinggal adalah besar atau tidaknya etos kerja yang dimiliki masyarakatnya. Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, etos kerja yang lemah seringkali menjadi permasalahan yang cukup serius dan memerlukan penyelesaian yang komprehensif dan gradual. Indonesia misalnya dengan penduduk terbesar nomor tiga dunia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam dikenal sebagai penduduk yang memiliki etos kerja paling lemah. Majalah Internasional Konservatif Reader Degest pernah menilai bahwa Indonesia akan sulit keluar dari krisis multidimensi, khususnya yang berhubungan dengan persaingannya di dunia global dikarenakan lemahnya etos kerja dan korupsi yang sudah sangat akut (Indonesian has lousy work ethic and serious corruption). Bahkan sebuah prediksi ilmiah pernah mengatakan bahwa jika Indonesia tidak segera menyelesaikan masalah etos kerja bangsanya, maka sekitar seperempat abad kemudian, di saat bangsa-bangsa di Asia tenggara telah menjadi negara maju -atau tinggal landas dalam istilah orde baru- maka Indonesia hanya akan menjadi halaman belakang (back yard) kawasan ini.

Pembahasan Etos kerja (work ethic) suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan pengamalan atas doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut. Agama atau ideologi merupakan pembentuk etika yang paling dasar yang dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan aktual masyarakat. Sebut saja saat ini yang paling berpengaruh; etika Kristen, etika Islam dan etika Konfusianisme.

Pengamalan suatu masyarakat akan doktrin agamanya akan berpengaruh pada nilai kerja yang dimiliki. Baik buruknya etos kerja suatu masyarakat akan berdampak pada kredit atau diskredit terhadap agama yang dianut masyarakat tersebut. Misalnya agama kristen yang dicap sebagai agama modern karena dianut mayoritas negara-negara erofa yang saat ini menguasai peradaban dunia. Atau kongfusianisme yang secara aktual dianut dan doktrinnya benar-benar mempengaruhi penganutnya terbukti telah menjadikan negara-negara yang mayoritasnya pemeluk konghucu sebagai negara yang diperhitungkan di dunia internasional. Misalnya negara-negara yang tergabung dalam NICS (Newly Industrializing Countries) atau negara-negara Industri Baru; Hongkong, Taiwan, Singafura dan Korea Selatan. Negara-negara ini disebut juga The Litle Dragons atau naga-naga kecil, dan naga merupakan binatang mitologi dalam sistem kepercayaan kongfusianisme. Ideologi ini bagi negara-negara tersebut tidak saja menjadi agama tetapi sudah menjadi simbol masyarakat dan negara. Sebut saja Korea Selatan, pada saat Olympiade Seoul, nampak menampilkan simbol-simbol konghucu pada saat pembukaannya. Pujian pun mengalir deras kepada kongfusinisme sebagai ideologi yang mampu menopang dan mendorong suatu masyarakat menjadi maju.

Lalu bagaimana dengan Islam, realitas yang mencuat dipermukaan malah nampak sebaliknya. Agama ini dicap sebagai agama yang menjadikan masyarakat pemeluknya memiliki etos kerja dan sprit persaingan yang lemah. Diskredit atas agama ini semakin hari bukan semakin berkurang, bahkan bertambah dengan istilah-istilah yang baru, seperti agama primitif, teroris dan lain sebagainya. Beberapa masyarakat Indonesia bisa berdalih bahwa yang menjadi dasar dan filsafat negara bukanlah Islam, tetapi Pancasila, dengan ini mereka mengatakan segala sesuatu yang terjadi dengan negara dan bangsa ini tidak ada kaitannya dengan Islam. Pernyataan ini benar di satu sisi, bahwa Indonesia bukalnlah daulah Islamiyah, tetapi filsafat negara, apapun bentuk dan istilahnya, lebih banyak hanya sebagai simbol atau common platform untuk pemersatu kemajemukan masyarakatnya, sedangkan yang menjadi ruh atau spirit sesungguhnya dari setiap orang adalah ideologi yang benar-benar diyakini dan menjadi dasar hidupnya, dan itu adalah agama. The Founding Fathers Indonesia saja ketika merumuskan sila-sila dalam pancasila, telah menjadikan sila ketiga; Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling mendasar dalam berbagai sistem ideologi yang ada di Indonesia. Umat Islam bahkan mengklaim bahwa sila tersebut hanya yang sesuai maknanya dalam dasar teologi Islam, esa yang berarti satu merujuk ke makna Tauhidullah. Belum lagi banyak dari nomenklatur bangsa ini yang mengunakan bahasa arab yang notabene merupakan bahasa umat Islam sedunia. Sebagai contoh Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah, Hakim, Peradilan, Hukum, dan lain-lain. Bisa dikatakan, walaupun tidak secara resmi dan eksplisit diakui, banyak simbol-simbol negara yang merujuk kepada sistem kepercayaan ini (baca: Islam).

Tapi inilah umat Islam, Muhammad Abduh pernah mengatakan dengan tegas bahwa al-islâmu mahzûbun bil-muslimi, menunjuk bahwa kebenaran, kejayaan dan kebesaran Islam kurang bahkan tidak tampak lagi dalam percaturan masyarakat dunia karena perilaku umatnya sendiri. Dan inilah yang menjadi sebab utama keterbelakangan mereka. Kuntowijoyo melihat bahwa umat Islam lebih banyak mengamalkan ajaran agamanya hanya dalam tataran simbol-simbol. Bahwa Islam hanya dipahami sebagai kegiatan ritual sholat, puasa, haji, termasuk zakat yang memiliki dimensi profan pun tidak terlepas dipahami sebagai ritualitas dalam simbol-simbol keagamaan.

Umat Islam perlu mengalami metamorfosa pemikiran dan pemahaman keagamaannya kembali. Reaktualisasi pemikiran dan pengamalan agama bukanlah dipahami sebagai melakukan perubahan gradual atas teks dasar atau sumber agama (baca: al-qur’an dan al-hadits), sebagaimana dipahami secara salah oleh sebagian orang. Tetapi memahami berbagai perintah-perintah dan larangan dalam nash-nash tersebut secara tepat, yaitu mengarah pada substansi yang diinginkan dalam maqhasidh syar’iyyah atau disebut juga dengan hikmatut tasyri’. Hal ini berlaku baik dalam masalah ‘ubudiyah maupun mu’amalah. Perintah sholat misalnya selain sebagai upaya pendekatan diri kepada Sang Khalik, juga sebagai upaya perbaikan etika, moral, nilai dan spirit umat Islam terhadap diri dan lingkungannya. Allah berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 45 :

“…dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar…”.

Bahkan Lukman mengikutkan perintah kebaikan dan mencegah kemungkaran secara langsung setelah perintah melaksanakan sholat. Sebagaimana dalam Surat Lukman ayat 17 :

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Atau juga sebagai spirit dalam rangka bermu’amalah mencari rezeki Allah di dunia, sebagaimana nampak dalam perintah bertebaran dimuka bumi (fantashirû fîl ardhi) setelah melaksanakan sholat jum’at, firmanNya :

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah : 10)

Contoh lain, mengapa umat Islam diperintahkan untuk berzakat, selain tujuannya untuk menyucikan harta, juga memiliki pengaruh dalam penguatan ekonomi umat. Demikian pula dengan puasa dan haji, selain memiliki dimensi transendental yang jelas sebagaimana layaknya dipahami dan memang merupakan spirit utamanya, juga memiliki dimensi profan yang saat ini belum memiliki pengaruh yang kuat, baik dalam pemahaman maupun dalam praktek umat.

Jika masalah ritual ibadah selalu memiliki dua aspek yang tidak terpisahkan, tentu demikian halnya dengan perintah-perintah yang berkaitan dengan mu’amalah duniawiyah. Berbagai aspek amalan dunia seperti belajar, bertani, berpolitik, berdagang, berkarya dan lain-lain, tidak saja merupakan tuntutan hidup manusia, tetapi merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran Islam sebagai manifestasi amanat ke-khalifahan manusia di bumi (khalifatullah fî al-ard). Maka dalam rangka meningkatkan kualitas kerja atau amal hamba-Nya ini, Allah tentunya telah menyiapkan teks-teks ajaran yang selain perlu dipahami secara aktual juga memerlukan pengamalan yang istiqomah (continue implementation).

Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan Peradaban mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan peningkatan kualitas etos kerja umat, antara lain :

1. Niat dan Tauhidullah

Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam setiap praktek ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya suatu pekerjaan tergantung pada niat pelakunya. Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung pada apa yang ia niatkan”.

Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk dengan konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh kuat kepada pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara umum ajaran yang ditekankan lebih mengarah kepada materialisme. Dimana kepemilikan seseorang akan materi akan sangat menentukan tingkatan kastanya baik waktu di dunia maupun ketika sesudah mati. Itulah karenanya dalam sistem ekonomi negara yang menganut paham kongfusianisme lebih mengarah kepada sistem yang menjunjung tinggi materi sebagai pusat perbaikan suatu bangsa.

Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan umatnya. Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan qalbunya syahadat Lâ ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu bisa berarti benda yang dicenderungi maupun disembah (paganisme), ideologi seperti materialisme, hedonisme, atau sistem kepercayaan yang diikuti yang lebih diutamakan dari pada Allah. Maka ketika seseorang bekerja dengan didasarkan pada tauhid, hal itu menjadikanya merdeka untuk melakukan apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan dengan kehendak Tuhannya (baca: Allah).

2. Ihsan dan Itqan

Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk mengucapkan nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara filosofis ikrar kepada sesuatu berarti pengakuan atas apa yang dimiliki olehnya. Allah dalam pandangan umat Islam adalah Tuhan yang maha segala-galanya, tidak ada yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa sesuatu yang didasarkan kepada derajat tertinggi akan memberi motivasi kuat untuk menyamakannya. Itulah Ihsan. Ihsan merupakan bentuk kerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik. Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu (mempecepat proses matinya)”.

Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban tidak saja dilihat dari sudut pandang “kehewanan” tetapi juga menunjukkan kerja yang efektif dan efisien. Dalam sistem kerja masyarakat modern, efektifitas dan efisiensi merupakan tuntutan utama yang harus dimiliki semua orang jika ingin berhasil.

Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu terbaik. Seorang muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi berorientasi pada karya terbaik, indah dan memiliki kualitas yang diperhitungkan semua orang. Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja dengan ber-itqan

3. Pentingya bekerja dalam Islam

Kerja merupkan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of existence). Jika bapak filsafat modern Rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum), maka dalam tema ini menjadi “aku bekerja maka aku ada”. Sesorang akan dikenal dan diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan. Selain kerja sebagai usaha memenuhi kebutuhan, juga sebagai penunjukkan jati diri masyarakat dengan ideologi yang diyakininya. Masyarakat di beberapa negara maju asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Hongkong dikenal sebagai masyarakat pekerja. Satu dengan yang lain saling berlomba untuk bisa menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang disebut dengan fighting Spirit (semangan bersaing) dalam rangka mencapai idealisme ideologi yang mereka anut.

Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam. Dianjurkan kepada pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Allah berfirman :

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 148)

Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri, agama dan bangsa merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena merupakan semangat utama yang bisa menjadikan pemeluk agama ini berada pada tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia. Dan itu pernah terjadi pada masa sahabat dan daulah Islamiyah.

4. Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah

Kebanggaan sebagai suatu bangsa secara nyata telah menjadikan bangsa tersebut sebagai bangsa pesaing. Masyarakat Inggris pernah mengklaim dirinya sebagai manusia terdepan dalam sistem evolusi manusia ketika ditemukannya fosil manusia Fieltdown, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan kepada bangsa-bangsa diberbagai tempat di dunia. Islam tidak mengajarkan rasisme seperti itu, tetapi menanamkan keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan banyak hal sebagai seorang muslim yang mukmin kepadaNya. Allah berfirman :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah….” (QS. Ali-Imran : 110)

Atau sabda Rasulullah saw. :

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah, dan dalam berbagai hal (nyata) lebih baik”

Juga sabdanya saw. :

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya”

Kebanggaan sebagai seoarang muslim ini nyata telah menjadikan para sahabat dulu memiliki jiwa dan semangat yang membara dalam rangka menyebarkan Islam ke berbagai pelosok bumi. Semangat seperti ini seharusnya ditumbuhkan kembali dalam rangka menjadikan umat Islam saat ini bangkit dari perasaan terkucilkan, lemah, malas dan takut bersaing dengan negara atau bangsa lain.

Wallahu a’lam bi al-Showab